Senin, 29 Februari 2016

Putih dalam Kelabu



Wajah hitam manis ini yang selalu menginspirasiku, lesung pipit di pipi kirinya membuatku tidak punya alasan untuk tidak tersenyum dalam menjalani hari-hari bersamanya. Tidak jauh lebih manis dari tokoh-tokoh korea yang sedang banyak dielu-elukan, tapi damai nan sejuk dipandang, muka surga, syahdu. Tinggi badannya tidak se-semampai atlit-atlit basket nasional. Tidak juga dengan hidung yang mancung seperti artis-artis bollywood, atau bola mata dengan lensa berwarna biru memikat. Tidak sesempurna itu, hanya saja, tatapan matanya sangat tajam menusuk, ekspresif, penuh misi, bukan ambisi atau obsesi, namun juga penuh kasih. Entahlah, begitu sulitnya untuk sekedar menggambarkannya secara fisik, dia yang selalu kupanggil kak fadhil. Yang kini gambaran visualnya secara gamblang terpampang di layar hp-ku, sedari tadi kupandangi tiada henti, semenjak pesan singkatnya pagi tadi
“maaf dek, mas nggak bisa pamit langsung ke rumah, tapi mas harus pergi sekarang”
Hanya pesan singkat memang, namun rasanya sangat menyiratkan makna, makna yang mendalam. Ketika membacanya imajiku langsung liar, seolah memandangnya yang dengan tegap berdiri di depanku, mengamati dengan sakasama. Dengan ekspresi abu-abunya yang membuatku hanya bisa mematung, dan terus menerka apa maksud dari semua itu. Sebuah ekspresi yang tak dapat diartikan dengan jelas, bisa saja iya, jawaban tidakpun cukup memungkinkan, atau bahkan entahlah, benar-benar sangat mengambang. Rasanya aku hampir putus asa, menatap mata elangnya dengan penuh konsentrasi ternyata tidaklah cukup untuk bisa menyelami pikiran ataupun sekedar angannya. Bahkan, aku yang merasa terkuliti, kini dia malah mencuri start untuk membaca pikiranku. Oh!! Tatapan itu, aku sungguh tak kuasa menahannya, segara saja kukatupkan kelopak mata ini, dan berusaha membuang semua bayangan yang  tak tau datang dari mana.
***
Bersih, luas, sepi, sunyi, benar-benar terkesan putih sempurna dengan diterangi lampu FL yang menggantung santai di langit-langit. Kulemparkan pandanganku, berharap menemukan sesuatu yang aku butuhkan saat ini, apa itu? Entahlah. Namun yang kutangkap hanyalah bayangan putih, dan putih lagi. Hanya ada dinding putih nan lebar yang kesepian. Aku masih belum bisa berpikir, atau mungkin belum mau, untuk sekedar tau dan mengenal keadaan sekitar.
          “Ckreeek!” aku langsung menoleh. Secepat asap aku berpikir bahwa itu suara pintu, dan ternyata memang benar ada daun pintu yang perlahan terbuka. Pintu putih yang tiba-tiba muncul diantara hamparan dinding putih, atau hanya tak kusadari keberadaanya sejak tadi, entahlah, setidaknya itu yang aku rasakan. Dan dari balik benda berdecit yang telah kembali memaksaku berpikir, kulihat putih, dan putih lagi. Tapi, sepertinya ini sedikit berbeda, bayangan itu bergerak. Lambat kusadari bayangan itu semakin jelas. Ada bagian yang tidak putih, dan kemudian kukenali itu muka, tangan, serta kaki. Dia mendorong kereta, iyaa, ternyata dia mendorong kereta kecil yang bunyinya dipadukan dengan ketukan sepatu yang teratur serta benturan pelan botol-botol kecil yang memenuhi bagian atas benda yang didorong itu. Kedengarangnya sangat berharmonisasi dan sangat familiar. Dan aku cukup pintar untuk segera mengenalinya, ditambah bau-bauan yang kian menusuk. Dua kata muncul di benakku, ‘rumah sakit’.
“Mbak Nayla sudah bangun?” sapanya dengan sangat ramah. Kutatap matanya, dan kemudian kulemparkan senyum kecil, kurasa itu cukup menandakan aku telah berada dalam dunia yang seharusnya, bukan mimpi.
Dan sekarang yang ada di pikiranku cuma kak fadhil. Berharap yang sempat kulihat dilayar hp itu dan segala imajiku hanya dalam mimpi. Segera kusadarka diri, memunguti kesadaran diri yang berserakan. Tanganku dengan cekatan merba segala arah yang terjangkau. Mencari benda yang kucari, namun tak kutemukan. Kurang puas, dan aku beranjak adari tempatku semula, tatap tak ada. Aku putus asa.
Aku menurut saja ketika petugas kesehatan itu bilang aku  sudah bisa pulang. Dibantu pak Bagyo aku menelusuri lorong-lorong rumah sakit. Semegah apapun itu, yang kurasanan hanya sepi. Setelah membantuku duduk di kursi belakang, orang yang dengan setia mengantarku kemanapun kumau __meski karena tuntutan profesi__ langsung duduk di belakang kemudi. Dengan sangat lincah menerobos jalanan kota yang lumayan padat, dan segera membawaku ke rumah.
Aku menikmati perjalanan ini dalam diam, hingga akhirnya aku menemukan suatu topik yang memang harus dibicarakan.
“pak, tadi lihat hp saya pak?”
“Maaf mbak, mungkin masih tertinggal di kamar, tapi saya menemuka ini” , sambil menyerahkan bungkusan abu-abu. Tak menarik sama sekali, aku tak berniat membukanya__untuk saat ini.
***
Lama, aku duduk berdua di taman belakang. Membicarakan kak fadhil yang tiba-tiba menghilang dari kehidupanku. Kuceritakan bagaimana kita melalui hari dengan penuh tawa, namun kemudian aku menangis.
“kamu tau sendiri lah nad, aku sudah benar-benar nggak punya orang yang kusayang, mereka satu persatu pergi meninggalkanku. Kalo mamah sama papah, okelah aku bisa terima, emmang mereka berkorban demi keselamatanku dalam kecelakaan itu.” “ah, sudahlah, tapi kak Fadhil? Kemana dia?apa setelah dia tau aku penyakitan, trus dia takut tertular?” sambungku.
“nay__” belum selesai nadya mengucapakan kalimatnya, aku langsung memotong
“tuhan tidak adil!” hardiku entah pada siapa. Nadya menimpali umpatanku dengan senyum terindahnya, senyumnya begitu tulus. Itulah yang kurasakan, meski kita baru dua kali bertemu setelah sebalumnya tanpa sengaja berpapasan di rumah sakit. Mungkin karena nasibnya yang sepenanggunagan membuatnya lebih bisa mengertiku lebih dari siapapun. Mungkin. Tapi tidak. Dia tidak senasib denganku, dia lebih segar, dan cantik, meski kuakui wajah kita hampir sama.
“mau saya ambilkan sesuatu mbak?” suara itu cukup mengagetkanku.
“tolong buatkan jus jambu, dua ya pak” sambungku, dan orang yang kupanggil pak Bagyo segera hilang dari pandangan ditelan daun pintu.
“ini mbak, ada lag?” ucapnya tak lama kemudian, seraya menyuguhkan dua gelas jus jambu segar, dan ekspresi wajah yang sedikit bingung. Tapi, sudahlah , aku tak mau ambil pusing.
“oh, sudah pak, makasih”sambungku kemudian.
Seharian Nadya bersamaku, dan selalu menghiburku. Aku merasa menemukan sosok ibu, kakak, sekaligus teman, bahkan sahabat pada dirinya. Aku merasa begitu nyaman dengannya. Aku benar-benar bisa terenyum, dan merasa kuat menghadapi kehidupan yang kejam ini.
Ketika kutawari tinggal dirumah, Nadya tak menolak, jadilahaku orang paling beruntung di dunia
***
 “nad!!” “Nad!” “Nad!” aku berteriak sekeras yang aku bias. Berharap dia segera muncul, dan membuatku kembali tersenyum. Sepertihari kemarin, moment yang sempat kuabadikan dengan kamera hp. Kami, aku dan Nadya tersenyum bersama, bahkan tertawa. Kurasa sudah mirip saudar kembar
“ada apa mba?”
“ini loh pak, teman saya pergi nggak pamit, bapak melihatnya keluar?”
Bukannya menyahut, pak Bagyo malah memasang tampang melankolis, seakan barusaja menyelesaikan drama melankolis yang terlalu mendramatisir.
“mbak, kalo mbak ada masalah, mbak bisa crita ke Bapak, jangan dipendam sendiri seperti itu”
“maksud pak Bagyo ini apa sih? Saya serius pak!” nadaku mulai meninggi
“maaf mbak, setelah pulang dari rumah sakit tempo hari, mbak Nayla kelihatan aneh, kadang tertawa sendiri, tiba-tiba nangis, lalu tertawa lagi.” “mbak juga sering bicara sendiri, bahkan yang sangat tidak biasa mbak nayla mampu menghabiskan dua gelas jus.”
“Ini sih bapak yang nglantur, jelas-jelas saya itu berdua dengan teman saya, namanya Nadya, semalem saja dia masih disini.” Aku benar-benar geram, apa maksud perkataanya, aku mengkhayal? Konyol! Kutinggalkan pak Bagyo yang masih mematung di depan pintu kamarku, tak bergeming. Tiba-tiba mataku terpaku pada secarik kertas yang tergeletak di atas meja belajarku.
Nayla, kau harus kuat, dan kau pastii kuat. Relakan apa yang telah pergi, dengan begitu dia akan tenang. Janganlah hidup dalam bayang-bayang semu. Kau tak pernah sendiri. Ingatlah Tuhanmu. Dia akan selalu ada. Dan Dia ada seperti apa yang kita pikirkan.
“Bapak lihat sendiri kan, ini, ini surat dari Nadya pak.” Kulemparkan kertas itu ketus, pak Bagyo menerimanya dengan dahi berkerut.
“Maaf mbak, sepertinya saya tidak asing dengan tulisan ini,dan lagi ini, tanda tangan ini, bukankah ini tanda tangan mbak Nayla?” “Jangan terlalu meratapi kepergian mas Fadhil mbak” lanjutnya. Aku tercekat, segera kutarik lagi kertas itu, tanda tangan itu memang, kuakui sangat mirip. Dan kalimat keduanya, kepergian kak Fadhil? Semuanya begitu membingungkan.
“Iya mbak maaf, kemarin sebelum mbak Nayla masuk rumah sakit, mas Fadhil pergi ke rumah temannya yang sedang sakit, tapi naas, maut menemuinya di tengah jalan.” Aku mematung, mendengarka semuanya dengan saksama. “dan bingkisan itu, mbak Nayla sudah membukanya?” tiba-tiba kuteringa bingkisa abu-abu itu. Segera kutarik dari kolong meja, kubuka, ternyata isinya sehelai hijab dan, dan surat yasin. Beserta secarik kertas.
Jangan lupa pada apa kamu asalnya, pada siapa kamu akan kembli. Mungkin saat kamu membaca Mas sudah pergi, doakan Mas selalu dek. Live must go on.
Aku masih tak percaya dengan apa yang ad di depan mata. Teringat foto yang sempat kuambil kemarin dengan Nadya, segera kuambil Hp dan kutunjukan pada Pak Bagyo. Namun, tiba-tiba aku yang shok sendiri, itu gambaranku sendiri, dan hanya sendiri, tak ada yang namanya Nadya. Tidak pernah ada yang namanya Nadya. Itu hanya sisi baik dari diriku berusaha merangkulku untuk kembali di jalan-Nya. Aku sadar, dan sangat-sangat sadar, batapa aku telah lalai.
Bayangan masa lalu menari-naari di pelupuk mata, betapa indahnya menghadap-Nya berjamaah sekeluarga. Ah, sudahlah tak ada gunanya meratapi nasib. Pertemuan terakhirku dengan kak Fadhil. Dia yang selalu memotivasiku, juga sebenaranya berusaha mengingatkanku, pagi itu
“dek bangun, ayo tahajud dulu.” Kalimat itu meluncur setelah deringan hp membangunkan tidurku. Aku tak bergeming, sedikitpun.
“oh, iya mas.” Sahutku sekenanya, selebihnya, kulanjutkan tidur nyanyaku. Haish, betapa dustanya aku. Juga keberadaan Nadya __yang sebenarnya tak pernah ada__yang telah kembali menyadarkanku.
Ya Alloh, aku sadar betapa kotornya diriku, betapa nistanya aku di hadapan-Mu. Jika bisa kuputar waktu, aku tak mau, dan tak akan pernah mengadilimu, karena sejatinya Kau Maha adil. Biarkan aku kembali dalam putih nan sucinya agama-Mu. Aku benar-benar ingin bertaubat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar