Wajah
hitam manis ini yang selalu menginspirasiku, lesung pipit di pipi kirinya
membuatku tidak punya alasan untuk tidak tersenyum dalam menjalani hari-hari
bersamanya. Tidak jauh lebih manis dari tokoh-tokoh korea yang sedang banyak
dielu-elukan, tapi damai nan sejuk dipandang, muka surga, syahdu. Tinggi
badannya tidak se-semampai atlit-atlit basket nasional. Tidak juga dengan
hidung yang mancung seperti artis-artis bollywood, atau bola mata dengan lensa
berwarna biru memikat. Tidak sesempurna itu, hanya saja, tatapan matanya sangat
tajam menusuk, ekspresif, penuh misi, bukan ambisi atau obsesi, namun juga
penuh kasih. Entahlah, begitu sulitnya untuk sekedar menggambarkannya secara
fisik, dia yang selalu kupanggil kak fadhil. Yang kini gambaran visualnya secara
gamblang terpampang di layar hp-ku, sedari tadi kupandangi tiada henti,
semenjak pesan singkatnya pagi tadi
“maaf
dek, mas nggak bisa pamit langsung ke rumah, tapi mas harus pergi sekarang”
Hanya
pesan singkat memang, namun rasanya sangat menyiratkan makna, makna yang
mendalam. Ketika membacanya imajiku langsung liar, seolah memandangnya yang
dengan tegap berdiri di depanku, mengamati dengan sakasama. Dengan ekspresi abu-abunya
yang membuatku hanya bisa mematung, dan terus menerka apa maksud dari semua
itu. Sebuah ekspresi yang tak dapat diartikan dengan jelas, bisa saja iya,
jawaban tidakpun cukup memungkinkan, atau bahkan entahlah, benar-benar sangat
mengambang. Rasanya aku hampir putus asa, menatap mata elangnya dengan penuh
konsentrasi ternyata tidaklah cukup untuk bisa menyelami pikiran ataupun
sekedar angannya. Bahkan, aku yang merasa terkuliti, kini dia malah mencuri
start untuk membaca pikiranku. Oh!! Tatapan itu, aku sungguh tak kuasa
menahannya, segara saja kukatupkan kelopak mata ini, dan berusaha membuang
semua bayangan yang tak tau datang dari
mana.
***
Bersih,
luas, sepi, sunyi, benar-benar terkesan putih sempurna dengan diterangi lampu
FL yang menggantung santai di langit-langit. Kulemparkan pandanganku, berharap
menemukan sesuatu yang aku butuhkan saat ini, apa itu? Entahlah. Namun yang
kutangkap hanyalah bayangan putih, dan putih lagi. Hanya ada dinding putih nan
lebar yang kesepian. Aku masih belum bisa berpikir, atau mungkin belum mau,
untuk sekedar tau dan mengenal keadaan sekitar.
“Ckreeek!” aku langsung menoleh.
Secepat asap aku berpikir bahwa itu suara pintu, dan ternyata memang benar ada
daun pintu yang perlahan terbuka. Pintu putih yang tiba-tiba muncul diantara
hamparan dinding putih, atau hanya tak kusadari keberadaanya sejak tadi,
entahlah, setidaknya itu yang aku rasakan. Dan dari balik benda berdecit yang
telah kembali memaksaku berpikir, kulihat putih, dan putih lagi. Tapi,
sepertinya ini sedikit berbeda, bayangan itu bergerak. Lambat kusadari bayangan
itu semakin jelas. Ada bagian yang tidak putih, dan kemudian kukenali itu muka,
tangan, serta kaki. Dia mendorong kereta, iyaa, ternyata dia mendorong kereta
kecil yang bunyinya dipadukan dengan ketukan sepatu yang teratur serta benturan
pelan botol-botol kecil yang memenuhi bagian atas benda yang didorong itu.
Kedengarangnya sangat berharmonisasi dan sangat familiar. Dan aku cukup pintar
untuk segera mengenalinya, ditambah bau-bauan yang kian menusuk. Dua kata
muncul di benakku, ‘rumah sakit’.
“Mbak
Nayla sudah bangun?” sapanya dengan sangat ramah. Kutatap matanya, dan kemudian
kulemparkan senyum kecil, kurasa itu cukup menandakan aku telah berada dalam
dunia yang seharusnya, bukan mimpi.
Dan
sekarang yang ada di pikiranku cuma kak fadhil. Berharap yang sempat kulihat
dilayar hp itu dan segala imajiku hanya dalam mimpi. Segera kusadarka diri, memunguti
kesadaran diri yang berserakan. Tanganku dengan cekatan merba segala arah yang
terjangkau. Mencari benda yang kucari, namun tak kutemukan. Kurang puas, dan
aku beranjak adari tempatku semula, tatap tak ada. Aku putus asa.
Aku
menurut saja ketika petugas kesehatan itu bilang aku sudah bisa pulang. Dibantu pak Bagyo aku
menelusuri lorong-lorong rumah sakit. Semegah apapun itu, yang kurasanan hanya
sepi. Setelah membantuku duduk di kursi belakang, orang yang dengan setia
mengantarku kemanapun kumau __meski karena tuntutan profesi__ langsung duduk di
belakang kemudi. Dengan sangat lincah menerobos jalanan kota yang lumayan
padat, dan segera membawaku ke rumah.
Aku
menikmati perjalanan ini dalam diam, hingga akhirnya aku menemukan suatu topik
yang memang harus dibicarakan.
“pak,
tadi lihat hp saya pak?”
“Maaf
mbak, mungkin masih tertinggal di kamar, tapi saya menemuka ini” , sambil menyerahkan
bungkusan abu-abu. Tak menarik sama sekali, aku tak berniat membukanya__untuk
saat ini.
***
Lama, aku duduk berdua di taman belakang. Membicarakan kak fadhil yang
tiba-tiba menghilang dari kehidupanku. Kuceritakan
bagaimana kita melalui hari dengan penuh tawa, namun kemudian aku menangis.
“kamu
tau sendiri lah nad, aku sudah benar-benar nggak punya orang yang kusayang,
mereka satu persatu pergi meninggalkanku. Kalo mamah sama papah, okelah aku bisa
terima, emmang mereka berkorban demi keselamatanku dalam kecelakaan itu.” “ah,
sudahlah, tapi kak Fadhil? Kemana dia?apa setelah dia tau aku penyakitan, trus
dia takut tertular?” sambungku.
“nay__”
belum selesai nadya mengucapakan kalimatnya, aku langsung memotong
“tuhan
tidak adil!” hardiku entah pada siapa. Nadya menimpali umpatanku dengan senyum
terindahnya, senyumnya begitu tulus. Itulah yang kurasakan, meski kita baru dua
kali bertemu setelah sebalumnya tanpa sengaja berpapasan di rumah sakit.
Mungkin karena nasibnya yang sepenanggunagan membuatnya lebih bisa mengertiku
lebih dari siapapun. Mungkin. Tapi tidak. Dia tidak senasib denganku, dia lebih
segar, dan cantik, meski kuakui wajah kita hampir sama.
“mau
saya ambilkan sesuatu mbak?” suara itu cukup mengagetkanku.
“tolong
buatkan jus jambu, dua ya pak” sambungku, dan orang yang kupanggil pak Bagyo
segera hilang dari pandangan ditelan daun pintu.
“ini
mbak, ada lag?” ucapnya tak lama kemudian, seraya menyuguhkan dua gelas jus
jambu segar, dan ekspresi wajah yang sedikit bingung. Tapi, sudahlah , aku tak
mau ambil pusing.
“oh,
sudah pak, makasih”sambungku kemudian.
Seharian
Nadya bersamaku, dan selalu menghiburku. Aku merasa menemukan sosok ibu, kakak,
sekaligus teman, bahkan sahabat pada dirinya. Aku merasa begitu nyaman
dengannya. Aku benar-benar bisa terenyum, dan merasa kuat menghadapi kehidupan
yang kejam ini.
Ketika
kutawari tinggal dirumah, Nadya tak menolak, jadilahaku orang paling beruntung
di dunia
***
“nad!!” “Nad!” “Nad!” aku berteriak sekeras
yang aku bias. Berharap dia segera muncul, dan membuatku kembali tersenyum.
Sepertihari kemarin, moment yang sempat kuabadikan dengan kamera hp. Kami, aku
dan Nadya tersenyum bersama, bahkan tertawa. Kurasa sudah mirip saudar kembar
“ada
apa mba?”
“ini
loh pak, teman saya pergi nggak pamit, bapak melihatnya keluar?”
Bukannya
menyahut, pak Bagyo malah memasang tampang melankolis, seakan barusaja
menyelesaikan drama melankolis yang terlalu mendramatisir.
“mbak,
kalo mbak ada masalah, mbak bisa crita ke Bapak, jangan dipendam sendiri
seperti itu”
“maksud
pak Bagyo ini apa sih? Saya serius pak!” nadaku mulai meninggi
“maaf
mbak, setelah pulang dari rumah sakit tempo hari, mbak Nayla kelihatan aneh,
kadang tertawa sendiri, tiba-tiba nangis, lalu tertawa lagi.” “mbak juga sering
bicara sendiri, bahkan yang sangat tidak biasa mbak nayla mampu menghabiskan
dua gelas jus.”
“Ini
sih bapak yang nglantur, jelas-jelas saya itu berdua dengan teman saya, namanya
Nadya, semalem saja dia masih disini.” Aku benar-benar geram, apa maksud
perkataanya, aku mengkhayal? Konyol! Kutinggalkan pak Bagyo yang masih mematung
di depan pintu kamarku, tak bergeming. Tiba-tiba mataku terpaku pada secarik
kertas yang tergeletak di atas meja belajarku.
Nayla, kau harus kuat, dan kau pastii kuat. Relakan
apa yang telah pergi, dengan begitu dia akan tenang. Janganlah hidup dalam
bayang-bayang semu. Kau tak pernah sendiri. Ingatlah Tuhanmu. Dia akan selalu
ada. Dan Dia ada seperti apa yang kita pikirkan.
“Bapak lihat sendiri kan, ini, ini surat dari Nadya pak.” Kulemparkan
kertas itu ketus, pak Bagyo menerimanya dengan dahi berkerut.
“Maaf
mbak, sepertinya saya tidak asing dengan tulisan ini,dan lagi ini, tanda tangan
ini, bukankah ini tanda tangan mbak Nayla?” “Jangan terlalu meratapi kepergian
mas Fadhil mbak” lanjutnya. Aku tercekat, segera kutarik lagi kertas itu, tanda
tangan itu memang, kuakui sangat mirip. Dan kalimat keduanya, kepergian kak
Fadhil? Semuanya begitu membingungkan.
“Iya
mbak maaf, kemarin sebelum mbak Nayla masuk rumah sakit, mas Fadhil pergi ke
rumah temannya yang sedang sakit, tapi naas, maut menemuinya di tengah jalan.”
Aku mematung, mendengarka semuanya dengan saksama. “dan bingkisan itu, mbak
Nayla sudah membukanya?” tiba-tiba kuteringa bingkisa abu-abu itu. Segera
kutarik dari kolong meja, kubuka, ternyata isinya sehelai hijab dan, dan surat
yasin. Beserta secarik kertas.
Jangan lupa pada apa kamu asalnya, pada siapa kamu
akan kembli. Mungkin saat kamu membaca Mas sudah pergi, doakan Mas selalu dek.
Live must go on.
Aku
masih tak percaya dengan apa yang ad di depan mata. Teringat foto yang sempat
kuambil kemarin dengan Nadya, segera kuambil Hp dan kutunjukan pada Pak Bagyo.
Namun, tiba-tiba aku yang shok sendiri, itu gambaranku sendiri, dan hanya
sendiri, tak ada yang namanya Nadya. Tidak pernah ada yang namanya Nadya. Itu
hanya sisi baik dari diriku berusaha merangkulku untuk kembali di jalan-Nya. Aku sadar, dan sangat-sangat sadar, batapa aku telah
lalai.
Bayangan masa lalu menari-naari di pelupuk mata, betapa indahnya
menghadap-Nya berjamaah sekeluarga. Ah, sudahlah tak ada gunanya meratapi
nasib. Pertemuan terakhirku dengan kak Fadhil. Dia yang selalu memotivasiku,
juga sebenaranya berusaha mengingatkanku, pagi itu
“dek bangun, ayo tahajud dulu.” Kalimat itu
meluncur setelah deringan hp membangunkan tidurku. Aku tak bergeming,
sedikitpun.
“oh,
iya mas.” Sahutku sekenanya, selebihnya, kulanjutkan tidur nyanyaku. Haish,
betapa dustanya aku. Juga keberadaan Nadya __yang sebenarnya tak pernah ada__yang
telah kembali menyadarkanku.
Ya Alloh, aku sadar betapa kotornya diriku,
betapa nistanya aku di hadapan-Mu. Jika bisa kuputar waktu, aku tak mau, dan
tak akan pernah mengadilimu, karena sejatinya Kau Maha adil. Biarkan aku
kembali dalam putih nan sucinya agama-Mu. Aku benar-benar ingin bertaubat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar